JAKARTA - Dalam beberapa bulan terakhir, industri fintech peer-to-peer (P2P) lending kembali menjadi sorotan setelah PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia menghadapi permasalahan gagal bayar yang cukup signifikan. Kasus ini memicu perhatian dari regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang langsung mengambil langkah pengawasan ketat dan memberikan sanksi administratif kepada Akseleran sebagai bentuk penegakan kepatuhan terhadap aturan di sektor fintech lending berizin.
Gagal bayar yang dialami Akseleran bermula dari enam borrower yang secara bersamaan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada Februari 2025. Kondisi ini menimbulkan kegelisahan bagi para pemberi dana (lender) dan menimbulkan risiko pada kelangsungan usaha Akseleran sebagai platform fintech yang selama ini dianggap sebagai salah satu pelopor dalam layanan keuangan inklusif.
Menanggapi hal ini, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa OJK telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pengurus dan pemegang saham Akseleran. “OJK telah melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap Akseleran dan evaluasi menyeluruh mengenai operasional, infrastruktur, dan root cause permasalahan Akseleran, termasuk kesesuaian business model perusahaan dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Agusman.
Lebih jauh, Agusman menambahkan bahwa pihaknya juga menginstruksikan pengurus dan pemegang saham Akseleran untuk segera melakukan langkah-langkah perbaikan, khususnya dalam menyelesaikan kewajiban kepada lender yang terdampak. “OJK melakukan monitoring ketat terkait penyelesaian kewajiban Akseleran kepada para lender, penyelesaian pembiayaan bermasalah, dan perbaikan fundamental lainnya oleh pengurus dan pemegang saham,” katanya.
Sebagai regulator, OJK tak hanya fokus pada pengawasan administratif, tetapi juga melakukan penegakan hukum terhadap pihak-pihak di Akseleran yang terbukti melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi komitmen. “Kami berkomitmen untuk meminimalisir potensi kerugian bagi pengguna dan menegakkan kepatuhan terhadap AKII, pengurus, maupun pemegang saham,” tegas Agusman.
Kronologi Gagal Bayar dan Kebijakan Refinancing
Terungkap bahwa permasalahan gagal bayar tersebut berakar dari kebijakan refinancing berulang atas pendanaan kepada enam borrower yang bermasalah. Kebijakan ini dilakukan oleh Direktur Utama Akseleran, Christopher Gultom, dengan persetujuan Chief Risk Officer, sebagai upaya pemulihan dana.
Direktur Utama meyakini bahwa refinancing dapat memberi waktu untuk recovery, terutama karena para borrower dan pemberi kerja mereka menyampaikan janji akan melunasi pinjaman dalam beberapa bulan ke depan. Namun, janji tersebut gagal direalisasikan, hingga akhirnya pendanaan ini menjadi macet dan berujung pada gagal bayar massal.
Hal ini terjadi tanpa melibatkan sejumlah direksi lain seperti Direktur Keuangan Mikhail Tambunan, Direktur Legal & Compliance Ketty Novia, dan Group CEO sekaligus Komisaris Akseleran Ivan Nikolas Tambunan. Mereka baru diberi tahu terkait refinancing tersebut pada awal Februari 2025 oleh Direktur Utama Christopher.
Setelah penemuan tersebut, Akseleran langsung menghentikan refinancing lebih lanjut, sehingga pendanaan yang sebelumnya diperpanjang menjadi gagal bayar secara bersamaan.
Tanggapan dan Upaya Penyelesaian dari Internal Akseleran
Ketika ditanya mengenai kemungkinan adanya indikasi fraud di internal, Komisaris Utama sekaligus Co-Founder Akseleran, Ivan Nikolas Tambunan, menyatakan bahwa hingga saat ini tidak ada temuan keterlibatan Direktur Utama maupun Chief Risk Officer dalam hal tersebut. “Sampai sekarang, kami tak melihat mereka menerima aliran dana dari borrower,” ujarnya.
Ivan mengakui bahwa asesmen kredit sejak berdirinya Akseleran pada 2017 dilakukan dengan ketat. Namun, untuk kasus gagal bayar saat ini, jika permasalahan tersebut dapat diketahui sejak awal, kemungkinan bisa diantisipasi lebih baik. “Kalau itu diketahui dari awal,” ujarnya.
Sebagai langkah penyelesaian, Ivan menyampaikan bahwa perusahaan tengah berupaya maksimal melalui dua cara utama: penagihan intensif kepada borrower dan pencarian investor baru. Dia berharap permasalahan ini dapat terselesaikan sebelum akhir 2025.
Kasus gagal bayar Akseleran menjadi pembelajaran penting bagi industri fintech peer-to-peer lending. Penanganan cepat dan tegas dari OJK, serta keterbukaan dari pihak perusahaan dalam melakukan perbaikan, menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menjaga stabilitas industri keuangan digital di Indonesia.
Dengan terus memantau proses perbaikan dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi, diharapkan masalah seperti ini bisa diminimalisir di masa mendatang. Keberadaan fintech lending sebagai penyedia akses pembiayaan yang inklusif harus didukung oleh tata kelola yang baik agar manfaatnya dapat dirasakan luas oleh masyarakat tanpa menimbulkan risiko sistemik.