JAKARTA - Minat terhadap ekonomi yang berakar pada etika dan nilai spiritual terus meningkat di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, bisnis Islam muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Sistem ini tidak hanya menekankan profit semata, tetapi juga mendorong keberkahan dan kemaslahatan (falah) dalam setiap proses bisnis. Dengan pondasi kuat dari Al‑Qur’an dan Sunnah, kerangka kerja bisnis Islam dirancang adil, transparan, dan bertanggung jawab secara sosial serta lingkungan.
Namun bagaimana sistem kuno ini dapat beradaptasi dengan dunia modern yang penuh dinamika dan kompleksitas? Banyak pengusaha dan praktisi ekonomi syariah kini dihadapkan pada berbagai tantangan yang memerlukan inovasi, pemahaman mendalam, dan komitmen untuk menjaga nilai-nilai utama.
Tantangan Riba dan Sistem Keuangan Global
Sangat sulit menerapkan prinsip syariah dalam sistem keuangan global yang mendominasi. Riba atau bunga adalah hal yang dilarang dalam Islam, tetapi hampir setiap lembaga keuangan konvensional memanfaatkan sistem bunga mulai pinjaman modal usaha, kartu kredit, hingga kredit pemasok. Sebagai alternatif, pengusaha Muslim terpaksa mencari model syariah seperti lembaga keuangan syariah, modal ventura syariah, atau akad mudharabah dan musyarakah.
Sayangnya, ekosistem syariah belum sebesar dan fleksibel seperti sistem konvensional. Akibatnya, skala bisnis dan akses modal sering terpengaruh. Model keuangan tradisional menawarkan kemudahan akses, margin bunga yang kecil, dan jaringan global, sementara alternatif syariah masih terbatas dalam hal jangkauan dan jenis produk.
Kerumitan Rantai Pasok Global
Bisnis Islam menuntut produk tidak hanya halal dari segi zat, tetapi juga thayyib baik dari segi proses produksi, perlakuan pekerja, dan dampak lingkungan. Di era globalisasi, rantai pasok melibatkan banyak negara dan standar regulasi berbeda. Untuk memastikan setiap mata rantai bebas dari unsur haram, eksploitasi, dan kerusakan lingkungan, diperlukan sistem pelacakan (traceability) yang canggih dan audit ketat.
Mengimplementasikan standar syariah dalam global supply chain membutuhkan biaya dan teknologi, serta kerja sama lintas negara sesuatu yang lebih menantang dibandingkan bisnis konvensional, di mana asal bahan dan prosesnya tidak terlalu dipermasalahkan selama memenuhi regulasi lokal.
Digitalisasi dan Kontroversi Akademik Syariah
Teknologi menjadi jantung ekonomi modern: e‑commerce, fintech, pemasaran digital, dan big data. Namun inovasi tersebut membawa dilema dalam konteks syariah:
Akad Digital: Bagaimana memastikan akad online memenuhi prinsip kejelasan dan ridha kedua pihak (an taradhin) dalam transaksi serba cepat?
Fintech Syariah: Peer-to-peer lending dan equity crowdfunding harus bebas dari spekulasi (maysir) dan ketidakpastian (gharar).
Pemasaran Digital: Apakah influencer marketing dan targeted ads sesuai etika Islam jujur, tidak menipu, tidak mengeksploitasi emosi dan keinginan konsumen?
Mengadaptasi prinsip-prinsip akad tradisional ke dalam era digital memerlukan kajian ulang dan penyesuaian syariah agar tetap relevan.
Regulasi Sekuler yang Menghambat
Di banyak negara, hukum bisnis yang berlaku adalah sekuler dan konvensional. Hal ini menimbulkan tantangan ketika kontrak syariah seperti musyarakah mutanaqisah (kepemilikan bertahap) tidak dikenali dalam hukum pertanahan konvensional. Pelaku usaha syariah harus menerjemahkan kontrak ke dalam bahasa hukum yang berlaku proses yang rumit dan memakan waktu.
Akibatnya, banyak akad syariah harus dimodifikasi agar legal secara hukum, yang terkadang mengurangi nilai syariah di dalamnya. Regulasi yang tidak mendukung malah memaksa pelaku usaha mengambil sikap pragmatis, meskipun hal ini berpotensi melemahkan prinsip bisnis Islam.
Kesenjangan Literasi dan SDM Profesional Syariah
Tantangan besar lainnya adalah kurangnya tenaga profesional yang menguasai bisnis modern sekaligus memiliki pemahaman mendalam terhadap fiqh muamalat. Banyak praktisi usaha yang hanya memahami label "halal" dalam makanan, tanpa mengerti cakupan yang lebih luas upah adil, tanggung jawab sosial, dan kelestarian lingkungan.
Akibatnya, penerapan bisnis Islam masih terbatas di permukaan. Untuk berkembang, dibutuhkan pendidikan dan pelatihan menyeluruh yang memadukan ilmu bisnis (manajemen, keuangan, pemasaran) dengan hukum Islam.
Peluang dari Tantangan Ini
Tantangan-tantangan di atas juga membuka peluang besar jika disikapi positif:
Pasar global yang sadar etika bisa memilih produk syariah yang berkelanjutan dan adil.
Teknologi seperti blockchain mampu menjadi motor untuk sistem rantai pasok halal, transparan, dan dapat diaudit.
Industri keuangan syariah terus berkembang, memberi akses modal dan tools keuangan bagi pelaku bisnis Islam.
Kerja sama dengan regulator untuk menyusun regulasi inklusif yang mengakomodasi akad-akad syariah dalam kerangka hukum konvensional.
Langkah Konkret Menuju Bisnis Islam Modern
Untuk menghadapi era kontemporer, implementasi bisnis Islam perlu memadukan beberapa strategi:
Edukasi holistik untuk meningkatkan literasi syariah dan praktek bisnis modern.
Kolaborasi antara akademisi, pelaku usaha, dan regulator, guna menyusun regulasi dan standar industri yang mendukung.
Adopsi teknologi seperti blockchain untuk melacak rantai pasok, dan fintech syariah yang kredibel.
Kampanye kesadaran konsumen, menjelaskan bahwa bisnis Islam lebih dari sekadar label halal.
Tantangan Menjadi peluang Inovasi
Bisnis Islam bukan fenomena sesaat, melainkan gerakan sistemik berbasis nilai-nilai yang universal: keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Meski menghadapi tantangan besar pada era modern seperti riba, globalisasi, digitalisasi, regulasi sekuler, dan literasi setiap tantangan ini juga menyimpan peluang besar.
Dengan inovasi, kolaborasi, dan komitmen, bisnis Islam tidak hanya bisa bertahan, tetapi menjadi model ekonomi yang lebih adil dan manusiawi. Inilah saatnya praktik syariah disempurnakan agar relevan dan mampu membawa manfaat nyata bagi masyarakat global.