Anies Baswedan

Getah Getih: Instalasi Bambu Kontroversial Era Anies

Getah Getih: Instalasi Bambu Kontroversial Era Anies
Getah Getih: Instalasi Bambu Kontroversial Era Anies

JAKARTA - Sebagai ibu kota sekaligus megapolitan terbesar di Indonesia, menyimpan banyak kisah menarik dalam perjalanan urbanisasinya. Salah satunya adalah kemunculan instalasi seni lokal berbahan bambu yang pernah menghiasi ruang publik di Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (2017–2022). Karya yang dinamakan Getah Getih ini bukan hanya sekadar ornamen kota, melainkan juga simbol budaya dan perdebatan tentang estetika, nilai lokalitas, dan cara kota memaknai ruang publik.

Getah Getih: Seni Bambu yang Penuh Makna

Instalasi bambu Getah Getih pertama kali dipasang pada tahun 2019 sebagai bagian dari rangkaian penyambutan Asian Games 2018. Karya ini dirancang oleh seniman Joko Avianto, yang terkenal dengan penggunaan material alami dalam karyanya, dan menonjolkan estetika tradisional yang berpadu dengan konteks urban modern.

Tersusun dari ribuan batang bambu yang dianyam dan dibentuk menyerupai jalinan akar dan sulur tanaman, Getah Getih menyimbolkan semangat persatuan dan kekuatan budaya lokal. Nama instalasi tersebut diambil dari bahasa Jawa Kuno, “getah” berarti darah dan “getih” berarti air mata. Kedua kata tersebut menjadi metafora untuk perjuangan, pengorbanan, serta persatuan bangsa Indonesia.

“Getah Getih bukan hanya sekadar karya seni, tapi representasi identitas dan semangat kolektif bangsa kita. Karya ini ingin mengingatkan kita bahwa akar budaya lokal tetap kuat dan hidup di tengah kota modern,” ujar Joko Avianto dalam wawancara saat peluncuran instalasi tersebut.

Menyegarkan Ruang Publik atau Pemborosan Anggaran?

Kehadiran Getah Getih di Bundaran HI langsung menarik perhatian masyarakat dan media. Banyak warga yang mengapresiasi kehadiran karya seni berbasis material ramah lingkungan ini di tengah hiruk-pikuk kota beton dan kaca.

“Ini memberikan nuansa segar dan berbeda. Instalasi bambu seperti ini membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kearifan lokal dalam pembangunan kota yang semakin modern,” kata seorang pengamat seni urban, Rina Kusuma.

Namun, tidak sedikit pula kritik yang mengemuka, terutama terkait alokasi dana yang digunakan untuk membangun instalasi tersebut. Menurut laporan, anggaran yang dihabiskan untuk pembuatan Getah Getih mencapai sekitar Rp550 juta. Karya seni ini hanya bertahan beberapa bulan saja karena kerusakan yang terjadi akibat faktor alam seperti cuaca dan pemakaian ruang publik yang intensif.

Sejumlah anggota DPRD DKI pun mengkritisi penggunaan dana publik untuk instalasi yang bersifat temporer tersebut. Mereka mempertanyakan efektivitas dan prioritas anggaran yang mestinya dapat dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak.

“Kami mendukung pengembangan seni dan budaya, tapi harus ada kajian mendalam soal manfaat dan durasi pemanfaatannya agar anggaran bisa digunakan secara optimal,” ungkap anggota DPRD DKI, Yuni Hartono.

Makna Ruang Publik dan Lokalitas dalam Urbanisasi

Terlepas dari kontroversi anggaran, Getah Getih berhasil membuka wacana baru tentang bagaimana ruang publik di kota besar seperti Jakarta tidak hanya berfungsi sebagai ruang fisik, melainkan juga panggung kultural yang menghidupkan identitas dan nilai sosial.

Kehadiran instalasi bambu tersebut memberikan sentuhan lokalitas yang kuat di tengah gedung-gedung pencakar langit dan jalan raya yang padat. Hal ini mengingatkan warga Jakarta bahwa kota tidak semata-mata soal modernitas dan pembangunan infrastruktur, tetapi juga soal mempertahankan dan merayakan warisan budaya.

“Kota ini adalah ruang ekspresi. Seni seperti Getah Getih menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan bisa lebih humanis, dengan menonjolkan akar budaya kita tanpa harus terjebak dalam tren global semata,” kata Budiman, dosen arsitektur urban dari Universitas Indonesia.

Namun, instalasi ini juga menjadi contoh nyata tantangan mengintegrasikan nilai lokal dalam ruang publik yang dinamis dan sering kali bertabrakan dengan kepentingan pragmatis pembangunan kota.

Warisan dan Pelajaran dari Getah Getih

Kini, instalasi Getah Getih sudah tidak lagi berdiri di Bundaran HI. Namun, keberadaannya masih membekas sebagai simbol estetik sekaligus kontroversial di era Anies Baswedan. Karya ini menandai sebuah momen penting dalam sejarah seni kota Jakarta, di mana upaya mengangkat nilai tradisional dipertaruhkan dalam diskursus modernisasi dan alokasi sumber daya publik.

Anies Baswedan sendiri pernah menyatakan bahwa karya seni di ruang publik harus mampu “menghubungkan masyarakat dengan identitas kota dan sejarahnya.”

“Meski tidak sempurna, Getah Getih membuka ruang bagi diskusi penting tentang seni, budaya, dan peran pemerintah dalam mendukung kreatifitas lokal,” kata Andi Prasetyo, pengamat kebijakan publik.

Ke depan, pelajaran dari pengalaman Getah Getih mengajarkan bahwa pembangunan kota besar seperti Jakarta harus lebih inklusif terhadap berbagai unsur budaya, sambil tetap menjaga keseimbangan antara estetika, keberlanjutan, dan efisiensi anggaran. Kota bukan hanya tempat tinggal dan beraktivitas, tapi juga ruang untuk mengekspresikan identitas dan sejarah secara kolektif.

Getah Getih adalah contoh karya seni lokal yang sarat makna dan simbolisme, namun juga memicu perdebatan tajam mengenai penggunaan ruang dan anggaran publik. Di era modernisasi yang kian cepat, karya seperti ini mengingatkan bahwa pembangunan kota harus berjalan seiring dengan pelestarian budaya dan refleksi sosial.

Kehadiran seni bambu di jantung ibu kota bukan sekadar mempercantik kota, tapi juga menjadi cermin nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu, sekaligus menguji sejauh mana masyarakat dan pemerintah mampu menghargai dan mempertahankan warisan budaya di tengah dinamika perkotaan yang terus berubah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index