BELANJA ONLINE

Belanja Online Tetap Asyik, Pajak Baru Hadir dengan Positif

Belanja Online Tetap Asyik, Pajak Baru Hadir dengan Positif
Belanja Online Tetap Asyik, Pajak Baru Hadir dengan Positif

JAKARTA - Membeli barang secara online kini sudah menjadi bagian dari keseharian banyak orang. Tinggal scroll, pilih barang, klik bayar, dan barang pun datang. Namun, di balik kemudahan itu, pemerintah tengah menyiapkan perubahan signifikan dalam aturan pajak bagi penjual di platform e-commerce. Ini bukan sekadar “pajak baru”, tapi perubahan mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang berpotensi memengaruhi pelaku dan konsumen di ranah digital.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengubah sistem pungutan pajak bagi penjual online dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun. Sebelumnya, penjual bertanggung jawab menghitung dan membayar pajak sendiri. Nantinya, marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada akan memungut dan menyetor pajak secara langsung ke negara. Tarifnya tetap 0,5% dari omzet bagi pelaku dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun.

Direktur Penyuluhan DJP, Rosmauli, menyampaikan bahwa langkah ini bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi bagi penjual, meningkatkan kepatuhan pajak, dan menciptakan keadilan antara penjual offline dan online. “Logikanya mirip seperti karyawan yang gajinya sudah otomatis dipotong pajak oleh perusahaan,” ujarnya.

Apa Artinya bagi Penjual?

Bagi penjual kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun, perubahan ini tidak akan berdampak. Mereka tetap bisa berjualan seperti biasa tanpa beban baru soal pajak ini. Namun, penjual dengan omzet lebih dari Rp500 juta harus bersiap dengan sistem pemotongan otomatis oleh marketplace.

Salah satu penjual kosmetik online, Ibu Munziyah, mengaku menerima kebijakan ini dengan lapang dada. Baginya, berjualan online adalah keharusan di era digital. “Saya sebagai warga negara yang taat, menurut saya tidak apa-apa, saya persilakan. Semoga kalau pajaknya diterapkan, rezeki kita juga sama Allah dicukupkan,” ujarnya.

Namun, ada juga penjual yang merasa lebih khawatir. Pak Taufik Riyadi, penjual alat pertanian online, menilai situasi ekonomi saat ini sedang sulit dengan daya beli masyarakat menurun dan harga kebutuhan pokok yang naik. Ia berharap pemerintah dapat memperhatikan kondisi penjual agar kebijakan ini tidak menjadi beban tambahan. “Penjualannya diperhatikan juga. Jadi, kami bisa peduli terhadap pemerintah [dengan pajak], tapi pemerintah harus juga peduli kepada kami,” katanya.

Apa Tujuan Pemerintah?

Perubahan mekanisme ini bukan hal baru. Rencana serupa pernah digulirkan, tapi batal karena protes dan kurang sosialisasi. Kini, dengan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat nilai transaksi e-commerce diperkirakan mencapai US$65 miliar pemerintah ingin menutup celah pajak dari aktivitas online yang selama ini sulit terpantau.

Melalui marketplace sebagai mitra pemungut, diharapkan rasio pajak nasional (tax ratio) bisa meningkat dan lapangan bermain antara penjual online dan offline menjadi lebih adil. Para ahli seperti Fajry Akbar dari CITA dan Nailul Huda dari CELIOS menilai langkah ini positif untuk mendorong kepatuhan dan menciptakan keadilan.

Tantangan dan Risiko Kebijakan Ini

Meski niatnya baik, ada beberapa tantangan teknis dan sosial yang perlu diwaspadai.

Pertama, integrasi data menjadi masalah utama. Penjual yang punya banyak toko di berbagai platform bisa saja terkena pemotongan ganda jika data omzet tidak terintegrasi dengan baik. Nailul Huda mengingatkan pentingnya sinkronisasi data dengan NIK atau NIB agar pemotongan pajak sesuai dengan omzet sebenarnya.

Kedua, risiko penjual "kabur" ke platform informal meningkat. Sebuah riset dari DDTC menunjukkan lebih dari 40% UMKM tidak setuju jika marketplace memungut pajak, dan sekitar 26% mempertimbangkan pindah ke media sosial atau WhatsApp untuk berjualan agar tidak terkena pajak. Ini bisa membuat upaya pemerintah untuk memperbaiki basis pajak justru gagal.

Dampak ke Harga dan Konsumen

Bagi pembeli, secara langsung harga barang tidak harus naik karena pajak ini bukan dikenakan pada produk, melainkan pada penghasilan penjual. Namun, jika tekanan ekonomi semakin berat, penjual mungkin menyesuaikan harga demi mempertahankan keuntungan.

Kebijakan pemungutan pajak e-commerce yang mulai berlaku adalah sebuah upaya besar pemerintah dalam menata ekonomi digital Indonesia agar lebih transparan dan adil. Dengan perubahan sistem dari penjual ke marketplace sebagai pemungut pajak, diharapkan administrasi lebih mudah, kepatuhan meningkat, dan keadilan tercipta.

Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada implementasi yang matang, termasuk sosialisasi yang efektif dan sistem teknologi informasi yang handal, serta perhatian serius terhadap kondisi penjual agar tidak menjadi beban baru.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index